catatan kecil dari pinggir hati

Koalisi Kalap

(foto dari okezone.com)

Namanya Koalisi Merah Putih, mengambil spirit dari bendera negara Indonesia. Putih yang suci dan merah yang berani. Gabungan dari beberapa partai yang (katanya) satu visi dan misi untuk Indonesia yang lebih baik. Tak usah disebutkan lagi siapa saja anggota koalisi ini, semua orang juga sudah tahu isinya para sesepuh partai yang sudah makan asam garam dunia politik di Indonesia. Tapi sayang, fakta menunjukkan bahwa pengalaman dalam dunia politik ternyata tak selamanya menjamin kualitas cara berpolitiknya.

Sejak hajatan Pilpres yang lalu, koalisi ini telah menunjukkan kualitas sepak terjangnya. Semangat pantang mundur telah menjadi nadi bagi koalisi ini. Mulai dari upaya memenangkan capresnya secara sistematis dan terstruktur hingga perjuangan secara masive saat menggugat hasil pilpres ke MK. Kepercayaan diri koalisi ini luar biasa, berjuang hingga titik waras penghabisan. 
Memasuki babak berikutnya, setelah mengetahui kegagalan memegang pucuk "kepala" pimpinan negeri ini, masih saja ada cara lain untuk menguasai "tubuh" Indonesia, melalui RUU Pilkada yang isinya tentang Pilkada dipilih oleh DPRD. Sontak para pengamat dan pemerintah sendiri dalam hal ini kementrian dalam negeri menolaknya. Tapi ingat, jumlah kursi koalisi di parlemen cukup banyak, baik yang di tingkat pusat dan daerah. Seandainya voting, pastilah suara koalisi ini akan menang, pun ketika pilkada diasumsikan bahwa calon kepala daerah yang diusung koalisi ini akan menguasai 31 provinsi.
Sudah banyak yang berteriak bahwa pilkada oleh DPRD adalah kemunduran demokrasi dan reformasi, tapi parlemen yang sebagian besar adalah anggota koalisi ini tak bergeming. Berbagai alasan dilontarkan, salah satunya tentang pemborosan anggaran. Saya tidak akan menganalisa alasan-alasan ini karena sudah banyak yang mengupasnya.
Teriakan menolak RUU Pilkada makin membahana, kali ini datang dari para walikota dan bupati yang notabene sebagian besar adalah kader koalisi merah putih. Para pemimpin daerah yang lahir dari pilkada langsung ini merasa bahwa RUU Pilkada adalah langkah mundur. 


Gebrakan terbaru datang dari Ahok, yang menyatakan mundur dari Partai Gerindra karena merasa tak cocok dengan kebijakan partainya yang mendukung RUU Pilkada. Artikel lengkapnya silakan kesini. Dan akhirnya diikuti oleh beberapa kepala daerah yang lain. 
Ironis, di satu sisi induk semang partai "berjuang" melanggengkan kekuasaan melalui Pilkada DPRD, di sisi lain para kepala daerah yang merupakan kader potensial justru meninggalkan induk semang karena berpihak pada demokrasi tertinggi, rakyat. Bukankah sebetulnya ini adalah sebuah kehilangan yang besar bagi partai, ketika ditinggalkan kadernya? Pilihannya tinggal dua, MENGUASAI NEGARA DEMI KEPENTINGAN PARTAI atau MENGEMBALIKAN KEDAULATAN KE TANGAN RAKYAT.

Sudahlah pak, jangan kalap, daripada kau nanti justru akan terlelap.





Tamansari, 12 September 2014






0 Komentar:

Post a Comment

Koalisi Kalap