catatan kecil dari pinggir hati

Sura' Sabeu Mentawai (Terima Kasih Mentawai)

Sebelumnya, saya secara pribadi mengucapkan terima kasih kepada LSM dan perusahaan yang telah merealisasikan perjalanan ini. Sebuah perjalanan yang tak akan pernah saya lupakan, penuh kesan, suka dan duka.

Baiklah, sekarang kita mulai perjalanan menuju Kepulauan Mentawai. Sebelumnya saya harus jelaskan dulu bahwa Kabupaten Kepulauan Mentawai terdiri dari 4 pulau besar, yaitu: Siberut, Sipora,Pagai Utara dan Pagai Selatan. Pembuatan film dokumenter yang saya lakukan bersama 1 orang teman ini dilakukan di pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan. Akses transportasi ke Mentawai bisa dilakukan dengan sebuah kapal Feri yang bernama Ambu-Ambu, berlayar dari Padang-Sikakap seminggu sekali. Selasa sore berangkat dari Padang,sampai di Sikakap Rabu pagi dan sore harinya berlayar kembali ke Padang. 
 


Perjalanan dari Padang menuju Sikakap, Pulau Pagai Utara, Mentawai berlangsung selama 12 jam.



Perjalanannya menyenangkan dan kami bisa menikmati sunset dan sunrise di tengah laut.


Diatas dek Kapal Ambu-Ambu


Kabin kelas ekonomi 

Sunrise dari atas kapal Ambu-ambu


Kecamatan Sikakap adalah kota kecil dan hanya ada satu jalan utama. Kegiatan ekonomi biasanya akan mulai ramai setelah kedatangan Kapal Ambu-ambu dari Padang,yaitu hari rabu. Hampir semua kebutuhan yang ada disini dipasok dari Padang, Sumatera Barat.

Suasana Kota kecamatan Sikakap saat pagi hari


Kota Kecamatan Sikakap yang sepi saat hari Minggu

Gempa dan tsunami yang terjadi di Kepulauan Mentawai tgl 26 Oktober 2010 merusak beberapa daerah di pesisir pulau Pagai Selatan dan utara, hingga akhirnya pemerintah kabupaten memutuskan untuk merelokasi masyarakat menuju tempat yang lebih tinggi. Sayangnya relokasi ini tidak disertai dengan infrastruktur yang memadai. Jalan misalnya,di Pagai Selatan hanya ada satu jalan utama sepanjang sekitar 50 kilometer yang dibangun oleh perusahaan HPH sekitar tahun 90an awal dan perusahaan itu tutup saat reformasi tahun 98. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi jalanan yang tak pernah disentuh oleh perbaikan selama 12 tahun?

Kapal boat yang biasanya dipakai untuk menyeberang dari Sikakap di Pulau Pagai Utara ke Pagai Selatan


Menyeberang dari Sikakap menuju ke pagai Selatan, 10 menit saja. Rp. 3.000/orang


Sikakap-Polaga-KM 37


Kami harus menuju ke daerah pedalaman Mentawai di Pulau Pagai Selatan untuk mengambil gambar tentang kondisi pengungsi dan tempat relokasinya. Setelah naik boat, akhirnya kami sampai di dermaga kecil, Polaga. Dari situ kami harus naik motor untuk sampai ke posko bersama para NGO yang sedang berkarya disana. Kenapa tidak naik mobil?karena disana mobil sangat jarang,dan biasanya hanya dimiliki oleh NGO atau pemerintah dan digunakan untuk melakukan tugas-tugas mereka. Sewa motor di sana adalah Rp. 150.000/motor/hari. Kondisi jalan sangat parah,ada beberapa bagian yang berlubang cukup dalam dan berbahaya saat hujan turun karena licin. Dari Polaga kami menempuh perjalanan sepanjang 37 KM dengan durasi perjalanan selama 2 jam dan kecepatan rata-rata hanya bisa 40 km/jam hingga ke pusat posko bersama NGO. Di sepanjang jalan jarang sekali dijumpai warung ataupun rumah, lebih banyak hutan dan sungai kecil. Tak ada tukang tambal ban, tak ada juga penjual bensin. Oleh karena itu saat sewa motor biasanya sudah dibekali dengan bensin full dan peralatan untuk ganti ban, sekaligus ban cadangannya.


Menyusuri pagai Selatan dengan motor

Di perjalanan menuju ke KM 37 kami mengalami bocor ban dan akhirnya harus balik lagi sepanjang 3 kilometer dan memanggil tukang ganti ban. Petualanganpun dimulai.

Akhirnya kami sampai juga ke pos bersama NGO dan mulai melakukan pengambilan gambar sekaligus riset.

Suasana Huntara (Hunian Sementara) di KM 37 Pagai Selatan


Selain daerah Pagai Selatan, kami juga pergi ke daerah Mapinang Selatan. Daerah yang satu ini harus ditempuh dengan perjalanan yang berbeda, yaitu harus naik kapal boat selama 2 jam dari Sikakap dan melewati Samudera Hindia. Ombak bisa setinggi 3 meter. Untung saat kami berangkat cuaca lumayan bersahabat, walaupun saat hari berikutnya pulang ke Sikakap ombak agak lebih tinggi.


Bang Johan (operator boat) mengikat kapal di tepi pantai Mapinang Selatan



Kondisi Kampung Mapinang Selatan yang terkena tsunami


Kondisi Hunian sementara Kampung Mapinang Selatan

Di kampung Mapinang Selatan ini kami stay selama 1 malam. Dan pagi hari sekitar pukul 04.30 kami mendapat kabar bahwa ada seorang anak yang meninggal karena campak. Dan entah kebetulan atau tidak pada sekitar pukul 05.30 pagi terjadi badai dengan intensitas cukup kuat. Menurut kepercayaan orang Mentawai biasanya kalau ada yang meninggal akan disertai badai sesudahnya. Menurut kadus Mapinang Selatan, anak yang bernama Nelta ini meninggal karena tidak adanya tenaga medis di dusun mereka. Sementara kalau untuk pergi ke Puskesmas yang ada di kecamatan Sikakap mereka harus mengeluarkan biaya besar karena lewat jalan laut yang menghabiskan bahan bakar sebanyak 200 liter untuk pp, dan harga BBM disana bisa sampai Rp.10.000/liter.

Upacara Pemakaman Nelta (22 Maret 2011)


Dari beberapa hari melakukan riset dan pengambilan gambar disana, ada beberapa hal cukup krusial yang seharusnya disikapi oleh Pemda dan dinas-dinas terkait :

1. Kelangkaan Bahan Bakar Minyak
Hal ini terjadi karena kurangnya suplai dari Pertamina ke daerah Sikakap. Dahulu sebelum gempa dan tsunami, BBM masih mencukupi. Namun setelah gempa dan tsunami melanda dan mulai banyak NGO yang berkarya di Mentawai maka demand naik. Sayang, kenaikan permintaan tak diimbangi dengan suplai yang memadai. Keadaan ini cukup mengganggu aktivitas NGO, pemerintah setempat, dan masyarakat. Sebenarnya pihak kecamatan Pagai Selatan sudah mengajukan penambahan suplai BBM namun belum ada respon. Saat saya meninggalkan Mentawai posisi harga minyak di tingkat pengecer mencapai Rp 15.000/liter.

2. Pembangunan Infrastruktur dan Penetapan Lokasi Hunian Tetap yang Standard
Proses relokasi pengungsi dari kampung asal mereka di pinggir pantai ke atas bukit ternyata tidak diikuti dengan perbaikan jalan dan pembukaan ladang baru bagi masyarakat untuk melanjutkan mata pencaharian mereka. Dan karena didesak oleh kebutuhan maka beberapa warga mulai turun ke ladang dan kebun mereka yang terletak di tepi pantai utnuk mengolahnya lagi. Karena kondisi jalan menuju daerah ladang mereka ini hanya bisa dilalui dengan jalan kaki maka mereka  memilih stay di ladang  yang sebetulnya masuk daerah rawan tsunami. Bahkan ada dusun di huntara yang jaraknya mencapai 8 km menuju ke kampung asli mereka di pinggir pantai.
Sampai saat ini belum ada kejelasan dari pihak yang berwenang tentang lokasi dan sistem hunian tetap yang akan dibuat untuk masyarakat.

3. Tenaga Medis, Air Bersih dan Sanitasi
Sejak terjadinya gempa dan tsunami di Mentawai, baru sedikit tenaga medis yang diturunkan ke dusun-dusun terpencil. Selama ini ketersediaan air bersih dan sanitasi di huntara masih dihandle oleh NGO-NGO. Apa yang akan terjadi apabila NGO exit dan mengakhiri programnya? Apakah pemerintah dan masyarakat akan mampu melanjutkan program-programnya dan mandiri?

4. Sekolah untuk Anak-anak
Ternyata tidak sedikit juga sekolah-sekolah yang hancur akibat terjangan tsunami. Dan dari fakta yang kami temukan di lapangan banyak anak yang masih bersekolah di tempat-tempat darurat, antara lain di gereja-gereja. Beberapa NGO juga sudah membangun sekolah sementara bagi anak-anak.

Dari hal-hal yang telah dituliskan diatas, bisa diambil kesimpulan bahwa ke depan dibutuhkan sinergi dan program yang jelas dari pemerintah agar kehidupan dan masa depan masyarakat Mentawai bisa lebih nyaman dan sejahtera.



Biarlah Senyum Mereka Tetap Mengembang

Menjadi Bunga yang Semerbak Menaungi Masa

Dan Beranjak Dewasa dengan Optimis dan Bangga


Akankah Negeri Compang-camping Ini

Mampu Ciptakan Pelangi di Langit Mentawai?

Agar Cita Masyarakatnya Menjadi Nyata

Tak Sekedar Menjadi Bunga Mimpi Sepanjang Masa





Catatan dari Mentawai, 15-30 Maret 2011







4 comments:

Sura' Sabeu Mentawai (Terima Kasih Mentawai)