catatan kecil dari pinggir hati

Kopi Pahit dan Sang Presiden


Belum kudengar ayam berkokok. Tapi jelas, ini adalah pagi. Benar, aku yakin, karena setiap pagi ada tanda yang bangun lebih pagi daripada ayam jago. Sebuah langkah kaki. Dan akhirnya, langkah itu datang. Kaki itu setiap pagi mendekatiku....benar! suara sendok berdenting telah terdengar, sebentar lagi aku dan teman-teman harus berenang di air panas, membunuh diriku sendiri.
Tidak seperti biasanya, tiba-tiba muncul suara langkah yang masih asing di telingaku dan mendekati toples bulukan ini, tempat aku berlindung. "Selamat pagi", kata suara itu. Nadanya agak berat dan serak, mungkin karena bangun tidur. "Pagi ini kamu cantik. Sayang, masalah-masalah di negeri ini tak secantik dirimu". Suara itu melanjutkan pembicaraannya. Aku dan teman-teman mencoba mengintip siapakah sosok itu. Hmmmm, tubuhnya agak gemuk, gesturenya cenderung statis, hanya tangannya sesekali bergerak. "Ah, bapak bisa saja. Bukankah negeri ini elok dengan segala kecantikan dan budayanya pak?" sahut suara perempuan yang langkah kakinya selalu kudengar tiap pagi. Bapak menyahut, "Seharusnya begitu. Banyak hal yang harus kupikirkan dan kupertimbangkan. Negeri ini butuh kematangan berpikir dan analisa-analisa". "Tapi pak, kata beberapa pengamat kemarin bapak kurang tegas dalam aksi, kurang kuat dalam improvisasi. Tapi sudahlah pak, tugas saya hanya membuat kopi untuk bapak, tak lebih dan tak kurang". Ah, perempuan itu manis sekali senyumnya.

Aku mulai berpikir, mungkin bapak inilah yang tiap pagi dibuatkan secangkir kopi pahit. Ini sebuah kesempatan. Kali ini aku harus masuk ke cangkir bapak itu, biarlah aku mati didalam tenggorokannya, dan aku akan abadi dalam pengetahuan yang disimpan di dalam kepalanya. Menjelajah, menelusuri syaraf dan otak bapak ini sepertinya akan mengasyikkan.


"Aku harus pulang, ibu pasti sudah menunggu", tiba-tiba bapak itu berbicara. Aduh, aku kehilangan kesempatan. Harus menarik perhatian bapak itu agar tak pulang. Kuremas diriku sendiri, agar bau harumku semakin menusuk hidungnya. Bapak itu tak boleh pulang dulu, sebelum meminumku. "Kenapa bapak presiden tergesa pulang? Bukankah harum kopi adalah sarapan terbaik untuk menyemangati hari?" perempuan itu buru-buru mencegah. Hah? presiden? Aku tambah gelisah. Sudah kukeluarkan  semua jurus keharumanku. Tapi rupanya,.....


"Aku tetap harus pulang. Mungkin aku akan kembali kesini minggu depan". Lemas...Ya sudahlah, mungkin  belum waktunya bagiku untuk mengetahui isi kepala seorang presiden. Tapi, siapakah yang selalu minum kopi pahit tiap hari selama ini? Sang Presiden hanya datang seminggu sekali. Mungkinkah yang datang tiap hari itu adalah menteri? atau anggota parlemen? Haih, aku makin penasaran saja dengan isi kepala mereka. Hilang kesempatanku. Hilang....


Brak! Tiba-tiba pintu tertutup. Sang Presiden telah pergi. Kembali sunyi. Perempuan itu datang lagi dan hanya membuat satu cangkir saja. Ah, aku sudah tahu isi kepalanya, sudah bosan. Isi kepalanya hanya uang.








Tamansari 31 Oktober 2012




2 comments:

  1. bagus mas artikelnya .. tersirat makna yang mendalam.

    ReplyDelete
  2. Terima kasih mas atas komennya. Selamat datang di blog saya :)

    ReplyDelete

Kopi Pahit dan Sang Presiden