catatan kecil dari pinggir hati

Politik, Serpihan Kebenaran yang Disalahgunakan karena Kepentingan

Kebenaran yang berulang kali dilakukan adalah kiblat manusia dalam hidupnya. Kesalahan yang berulang kali dilakukan bisa menghasilkan kebenaran baru walau itu maya. Banyak orang yang memandang bahwa kebenaran yang hakiki adalah dari hati nurani, tapi tidak demikaian dengan politisi. Mengutip arti dasar politik dari sini yang mengatakan bahwa Politik (dari bahasa Yunani: politikos, yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara), adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
  • politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
  • politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
  • politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
  • politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dari sedikit teori diatas, bisa disimpulkan bahwa politik bukanlah hal negatif. Lalu kenapa politik kemudian diplintir?
Manusia lahir membawa kemurnian, di saat dewasanya mulai mengenal baik buruk. Ada sisi lain yang kadang tak dianggap oleh seorang individu, yakni kepuasan dirinya terhadap sesuatu. Hal ini yang mendorong banyak idiom-idiom dalam menjalani kehidupan, antara lain idiom realistis, idealis, dan semacamnya. Idiom-idiom ini melekat pada tiap individu, bahkan hingga mengakar sampai ke kehidupan sehari-harinya. Rasa nyaman menjalani kehidupan menjadi lakon dalam keseharian. Ada yang merasa nyaman dengan kemiskinan dengan idealismenya, ada juga yang merasa nyaman dengan kelimpahan harta dan realitas yang diciptakannya.
Ketika orang mulai hidup dalam kenyamanan maka saat dia mengalami penderitaan sedikit saja bisa langsung mengeluh bahkan melenguh. Melegitimasi realitas kenyamanan menjadi pembenaran untuk mencari jalan menuju kesana. Sayangnya, banyak politisi negeri ini lahir karbitan, bahkan prematur.  Belum sampai matang di rahim sudah telanjur keluar. Belum siap menjadi kupu-kupu sudah harus keluar dari cangkang kepompongnya.
Inilah yang kemudian melahirkan konflik kepentingan golongan, seperti yang kita lihat dan rasakan akhir-akhir ini, utamanya saat menjelang dan sesudah pilihan presiden kemarin. Carut marutnya tak perlu lagi diceritakan disini. Toh kita sudah sering melihatnya, atau jangan-jangan kita malah menjadi bagian di dalamnya.
Banyak politisi 'kemampo' (setengah matang-Bhs Jawa) yang merasa matang karena pengalaman. Pengalaman berpolitik tidak berbanding lurus dengan kematangan batin politisi itu sendiri. Fenomena gegap gempita pilpres 2014 ditingkah dengan suara-suara sumbang kepentingan. Padahal sejatinya akan sangat indah ketika seperti ini. 
Banyaknya kejanggalan administratif di link  c1 yang aneh ini bisa mewakili ketidak matangan diatas. Sementara itu suara arus bawah agar salah satu capres legawa ditulis disini. Peran aktif rakyat sepertinya memang sangat dibutuhkan dalam kondisi dinamika politis yang hangat. Tentu saja rakyat juga harus arif dalam menyuarakan kepentingannya. Kepentingan hakiki yang dilandasi semangat membangun negara ini, bukan justru malah ikut mendekonstruksi tatanan moral politik dan berujung pada caci maki.
Marilah bijak dalam berpolitik. Jangan mempolitisir politik sehingga seolah-olah politik adalah aib kehidupan yang harus dijauhi. Mengutip twit saya siang tadi:
Nusantara ini lahir dari kearifan, dan berjalan dalam kesabaran.
Janganlah kita besarkan dengan kemarahan.
Entah tulisan ini akan mampu berbicara atau tidak, yang jelas apa yang saya tulis adalah mewakili kepentingan saya sebagai individu yang merdeka. 
Selamat berpolitik santun.



Tamansari, 14 Juli 2014






0 Komentar:

Post a Comment

Politik, Serpihan Kebenaran yang Disalahgunakan karena Kepentingan