ACT I
Panggung gelap perlahan menjadi terang di sebelah kanan. Sebuah peti mati teronggok disitu, tak terawat. Suara-suara malam menyeruak. Perlahan peti mati terbuka, sebuah tangan muncul. Tangan yang keriput, tua. Tangan Mula Tua. Wajah tuanya muncul, matanya memicing-micing, silau. Kemudian duduk di peti matinya.
MULA TUA
Kematian, kata mereka adalah akhir segalanya. Aku tak percaya. Aku Mula...
Mula Tua turun dari peti matinya, sambil terhuyung ia menuju ke batang pohon yang ada di dekat peti mati.
MULA TUA
Sesak memang.
(sambil menghela nafas)
Gelap memang.
(mengusap matanya, silau)
Tapi, seolah ada nafas kedua yang tiba-tiba datang, dan matahari kedua yang masuk ke kematian. Entah darimana. Entah untuk siapa. Dan siapa yang memberikan? entahlah. Tapi aku tak melihat Tuhan. Bahkan pada saat tergelapku, saat sesakku. Aku juga tak melihat surga atau neraka. Tak ada panas atau dingin. Kulitku menjadi makin keriput rasanya. Tak ada api atau gerbang emas dengan kesejukan taman serta batu-batu safir. Aku menjadi ragu, dogma-dogma yang selama hidup aku baca dan yakini tak lebih dari kata-kata metafora yang dicipta oleh peradaban.
(menghela nafas sejenak)
Lapar. Ya....ya. lapar. Itu yang tak ada saat kematian. Kitab suci mana yang menjelaskan kelaparan setelah kematian? tak ada.
(mengelus perutnya)
Ah, sekarang aku lapar.
Mula Tua bangkit, menuju ke sebuah pohon. Pohon apel. Masih disisi kanan panggung. Ia kemudian memetiknya dan memakannya. Namun apel merah itu terlalu keras untuk dia.
MULA TUA
Terlalu keras.
(sambil mencoba mengunyah apel merahnya)
Gigiku tertinggal di kematian. Aku lupa membawanya. Ya, lupa juga tak ada saat mati. Dan sekarang aku jadi pelupa! Cih! Hidup memang susah.
Ia kemudian meraba saku bajunya. Kemudian mengeluarkan sebuah kacamata baca.
MULA TUA
Tapi mengapa kacamata ini ada disini? Kematian tak butuh mata. Kematian tak butuh dilihat, namun hanya dirasakan. Dan mereka yang masih hidup tak memahami ini. Tidak juga anak cucuku. Atau mungkin mereka merasa ini adalah barang kesayanganku?
Kacamata diambilnya, dan dikalungkannya. Ya, ada semacam tali di kacamata bacanya itu. Ia berbalik sejenak, memandang peti matinya, kemudian mendekatinya.
MULA TUA
Ada banyak kisah yang kualami saat bersamamu. Biar kusimpan saja kisah-kisah itu. Dan sudah saatnya aku harus pergi, melanjutkan ceritaku. Tentang kematian yang menjadi awalnya.
Mula Tua bangkit, kali ini langkahnya sedikit lebih pasti. Ia menuju ke kiri, ada sebuah kursi goyang dan meja kecil disana, dengan radio kecil, secangkir kopi, foto keluarga, telepon rumah, dan setumpuk buku. Di depannya, seekor burung perkutut nangkring di dalam sangkar. Mula Tua menanggalkan jasnya, dan menaruhnya di sebuah gantungan jas/baju, kemudian menuju ke meja kecil itu. Sementara lampu di bagian set peti mati mulai blackout.
MULA TUA
Radio kesayanganku! Menemani hari-hari tuaku.
Ia kemudian menghidupkan radio itu, terdengar lamat-lamat suara siaran wayang kulit saat di pathet manyura.
Mula Tua berjalan menuju kursi goyang dan duduk disana.
MULA TUA
Tak ada yang lebih damai dari saat-saat seperti ini. Telingaku mendengar, dan mataku...ah, mataku. Dimana kacamataku?
Ia meraba atas kepalanya. Tak ada disitu.
Lupa yang menyiksa!
Akhirnya ia menemukan kacamatanya yang tergantung di dadanya.
MULA TUA
Ah, kau! Kenapa tak kau beritahu dimana kamu berada. Otakku masih kering, syaraf-syaraf pengingatku tak peka. Seharusnya kau memberitahu keberadaanmu. Tapi tak apa, secangkir kopi mungkin akan menyegarkan ingatan.
Ia kemudian memakai kacamatanya, mengambil buku tua, dan meneguk sedikit kopi.
MULA TUA
Masih seperti dulu. Asam kopi yang menghangatkan. Warna hitamnya meneduhkan otakku. Dan buku ini. hmmmm. Tak bosan-bosannya ia bercerita tentang cinta yang dibungkus oleh ciuman perjumpaan maupun perpisahan. Roman yang picisan! Tapi entahlah, aku menyukai buku ini. Bahkan saat kematianku kemarin, aku masih hapal kalimat-kalimat menyayatnya. Gila! bahkan kata-kata bisa dibawa oleh ingatan sampai mati.
Ia tertawa kecil, kemudian menaruh buku diatas meja. Tanpa sadar matanya melihat foto keluarganya. Ia, istri, dan anak cucunya. Diambilnya foto itu.
MULA TUA
Entah dimana mereka sekarang. Kemarin aku sudah menunggu istriku di kematian, namun ia tak datang juga.
(Kemudian menengok kanan kiri)
Tapi mengapa rumah ini sepi? seperti mati. Atau memang telah ditinggalkan? Aneh. Perasaanku juga aneh. Tak ada lagi rindu terbata-bata yang biasanya membuat mata berkaca-kaca. Atau kematian bisa membunuh cinta? Retorika. Retorika! Kematian adalah masa laluku. Biarlah cinta tinggal bersamanya kalau mau. Tak apa.
Tiba-tiba burung perkututnya berbunyi. Mula tua tersadar dari lamunannya. Bangkit berdiri menuju ke sangkar burungnya.
MULA TUA
Hai, kau masih hidup rupanya!
Mula tua menurunkan sangkar burungnya.
MULA TUA
Atau kau jangan-jangan kemarin juga mati seperti aku? Hahaha. Sudah lama kita tak saling menyapa. Apa?
Ia mendekatkan kupingnya seperti mendengarkan burung perkututnya berbicara.
MULA TUA
Ya. ya. Maafkan aku karena meninggalkan kamu. Hai! Tak usah begitu, jangan cemburu pada kematian. Ia cuma hadir sejenak saja. Ya? ya? Jangan memarahi takdir. Ia cuma menjalankan perintah saja. Keberadaannya dipertaruhkan. Kamu jangan menuduh takdir menyebabkan perpisahan kita. Hahaha. Sudahlah, yang penting aku dan kamu bisa berkumpul lagi. Kamu sudah makan? Kamu pernah merasa tak lapar? Nyaman sekali rasanya.Hahaha. Aku jadi ingat saat hujan di musim kemarau dulu. Aku membiarkanmu kehujanan di luar sana. Lalu kau berteriak kedinginan. Kamu ingat, dari dalam rumah aku tergopoh keluar dan membawakanmu selimut? Hahaha. Sungguh, itu kepikunan yang luar biasa. Mana mungkin perkutut pakai selimut? Dan yang lebih pikun lagi aku kembali masuk rumah untuk mengembalikan selimut dan kau tetap saja di luar sana kedinginan. Hahaha. Sebuah kepikunan yang tak bisa dipercaya! Atau kau masih ingat juga ketika makanan dan minumanmu habis, kau berteriak lagi. Dan aku memelukmu erat-erat? Mana ada kelaparan yang akan binasa oleh pelukan? Itu bukan pikun. Tapi aku sengaja membohongimu. Dan kau tetap saja berteriak...ya karena kau sedang kelaparan, bukan rindu pelukan. Masih ingat itu? Hahahaa.
Mula tua berhenti tertawa. Ia menyadari sesuatu.
MULA TUA
Hei. hei. Lihat. Ingatanku mulai kembali. Cerita kebohonganku tadi seperti membinasakan kepikunanku dengan perlahan! Kamu ingat cerita itu kan? Cerita tentang kamu yang kedinginan dan kelaparan? Ingat? Atau,...jangan-jangan kau juga sudah pikun. Coba, apakah kau masih ingat bagaimana teriakanmu saat kedinginan itu? Coba kau ulangi. Aku masih ingat betul bagaimana teriakanmu. Ayo!...Ayo...!
Mula tua terdiam. Ia ingin mendengarkan teriakan perkututnya. Sepi.
MULA TUA
Ayo! Berteriaklah! Seperti saat itu, ketika dingin menusuk tulangmu yang mungil!
Sepi.
MULA TUA
Hai! Jangan kau rusak kebahagiaanku ini! Ketika ingatan-ingatanku mulai kembali lagi! Atau kau harus kubunuh dulu agar berani menyusun ingatanmu sendiri!
Mula tua diam lagi. Mendengarkan. Dan burung perkutut itu akhirnya berbunyi.
MULA TUA
Aha! Ya! ya! Ini teriakan saat kau kedinginan. Selimut itu...Hahaha. Ternyata kau masih ingat juga. Atau kau berusaha mengingat karena ancamanku? Hahaha. Kalau iya, berarti sungguh, kau mempunyai ingatan yang pengecut!
Burung perkutut berbunyi lagi, dengan suara yang agak berbeda.
MULA TUA
Hahaha. Ini saat kau kelaparan. Kelaparan. Aku ingat. Kau juga ingat. Hahaha.
Telepon berdering. Mula tua berhenti tertawa. Ia terdiam, seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya. Suasana berubah tegang lagi.
MULA TUA
Telepon? Siapa yang menelepon?
(Bicara pada perkutut)
Dari mana?
(Bicara pada perkutut lagi)
Telepon berhenti berdering. Mula tua memandang burung perkututnya. Ada perasaan lega. Ia kemudian mengangkat sangkar burungnya dan menaruhnya lagi di tiang kecil. Tiba-tiba telepon berdering lagi.
MULA TUA
(Mulai marah)
Hai! Siapa yang berani menelepon? Tak ada yang tahu keberadaanku disini. Istriku? Anak-anakku? Tak mungkin. Mereka tak pernah tahu aku disini.
Akhirnya ia menghampiri meja kecilnya. Dan dengan ragu diangkatnya gagang telepon. Ia mendengarkan sejenak. Tiba-tiba raut wajahnya berubah. Serius, dan takut. Sepi. Perlahan Mula tua duduk di kursi goyangnya yang sama sekali tak mau bergoyang lagi.
MULA TUA
Kenapa kau mengikutiku? Bukankah kau yang mengijinkan aku kembali kesini?
(Masih sedikit ketakutan)
Baik. Baik. Aku tak akan menyangkalmu. Aku akan pergi. iya, pergi.
Dengan tangan bergetar ia meletakkan gagang telepon itu. Terdiam sejenak.
MULA TUA
Katanya, dia Tuhan. Entah mengapa, aku mempercayainya begitu saja. Bulu kuduk ini tak mau kompromi. Seperti melihat sesuatu yang menakjubkan. Padahal hanya suaranya saja. Tapi, rasanya aku pernah mendengar suara itu.... entah dimana. Aku disuruh pergi dari sini. Ada yang harus kulakukan lagi. Dan ia tak mau aku terlalu lama disini, agar ingatan-ingatan tak bertumbuh pada satu titik waktu saja.
Ia perlahan berdiri dan mulai berjalan. Namun belum lagi langkah kedua, ia berhenti.
MULA TUA
Tapi kemana? Ia tak mau menunjukkan. Tapi aku harus pergi.
Ada telepon berdering lagi. Tapi kali ini suaranya berbeda, lebih modern. Mula tua kembali ke meja kecilnya. Gagang telepon diangkat lagi. Namun masih berdering.
END OF ACT 1
NOTES :
Naskah ini belum selesai. Apabila ada yg berminat memproduseri pentas monolog MULA ini silakan hubungi saya, dan kita diskusikan lebih lanjut. Terimakasih.
Hak cipta dilindungi undang-undang dan hati nuranimu.
Tamansari, 13 September 2013
0 Komentar:
Post a Comment