Tjoet Nja' Dhien adalah film drama epos biografi sejarah Indonesia tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarot. Film ini memenangkan Piala Citra sebagai film terbaik dalam Festival Film Indonesia 1988. Film ini dibintangi Christine Hakim sebagai Tjoet Nja' Dhien, Piet Burnama sebagai Panglima Laot, Slamet Rahardjo (kakak Eros Djarot) sebagai Teuku Umar, dan juga didukung Rudy Wowor.
Film ini sempat diajukan Indonesia kepada Academy Awards ke-62 tahun 1990 untuk penghargaan Film Berbahasa Asing Terbaik, tetapi tidak lolos dalam pencalonan nominasi. Walaupun begitu, film ini menjadi film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (tahun 1989). Sumber dari sini
Harus diakui film ini adalah salah satu film terbaik yang pernah dibuat oleh sineas kita. Kepahlawanan Tjut Nya’ Dhien mampu ditransfer menjadi bahasa visual dengan apik oleh Eros Djarot. Totalitas konsep dan berproses para pemain dan kru menjadikan film ini masih sangat layak tonton hingga saat ini. Tentunya menonton film ini harus memahami juga kondisi tekhnologi saat itu. Saya sendiri termasuk orang yang sangat kritis untuk masalah teknis, namun film ini mampu menggiring konsentrasi saya pada alur cerita, shot, dramaturgi dan akting pemainnya.
Mari coba kita tengok lagi sekilas sinopsisnya:
Film ini menceritakan tentang perjuangan gigih seorang wanita asal Aceh (lihat Tjoet Nja' Dhien) dan teman-teman seperjuangannya melawan tentara Kerajaan Belanda yang menduduki Aceh di kala masa penjajahan Belanda di zaman Hindia Belanda. Perang antara rakyat Aceh dan tentara Kerajaan Belanda ini menjadi perang terpanjang dalam sejarah kolonial Hindia Belanda. Film ini tidak hanya menceritakan dilema-dilema yang dialami Tjoet Nja' Dhien sebagai seorang pemimpin, namun juga yang dialami oleh pihak tentara Kerajaan Belanda kala itu, dan bagaimana Tjoet Nja' Dhien yang terlalu bersikeras pada pendiriannya untuk berperang, akhirnya dikhianati oleh salah satu orang kepercayaannya dan teman setianya, Pang Laot yang merasa iba pada kondisi kesehatan Tjoet Nja' Dhien yang menderita rabun dan encok, ditambah penderitaan berkepanjangan yang dialami para pejuang Aceh dan keluarga mereka.
Cara membaca review ini adalah
- Silakan lihat dan amati contoh scene (video)nya
- Silakan baca pendapat saya
- Seandainya diperlukan bisa melihat lagi videonya
- Tentunya review ini tidak akan berjalan maksimal apabila kita belum menonton filmnya secaa utuh. Sehingga disarankan untuk menonton film ini dengan utuh agar contoh-contoh scene ini menjadi bagian utuh dari satu bangunan film.
Kita mulai dari scene berikut ini:
Cuplikan 1
Cuplikan 1 : Ini adalah salah satu contoh penggunaan cutting ber rima (rhyme cut) pada sebuah film yang biasanya berfungsi untuk menaikkan/menurunkan dramatik atau membuat suspense mayor/minor. Rhyme cut ini terdapat pada saat adegan menembak yang kemudian cut dengan scene toastnya para jenderal Belanda. Mata kita seperti diajak untuk masuk dalam suspens.
Cuplikan 2 : Sebuah scene menarik dengan dialog-dialog cerdas. Bagaimana Sang Penyair mempertahankan pendapatnya tentang keledai, dan Tjut Gambang yang berdiplomasi melalui kata-kata sederhana namun bijak. Perhatikan juga silent dan bisnis akting mereka berdua. Semua gerak-gerik tubuhnya mempunyai motivasi.
Cuplikan 3
Cuplikan 3 : Scene yang sederhana. 2 tokoh yang mencoba mencari solusi kemudian ditimpali oleh dialog-dialog Penyair yang memang berfungsi untuk menjadi penyeimbang dramatik agar bangunan film tidak terlalu berat. Saya sangat tertarik dengan simbol keberpihakan film ini pada perempuan yang digambarkan dengan background property di belakang Pang Laut, berupa kain dan Nya’ Bantu, berupa senjata. Sebuah simbol yang cukup kuat untuk menunjukkan bahwa perempuan pejuang menjadi sentral di film ini.
Cuplikan 4
Cuplikan 4: Keaktoran Mbak Christine Hakim sangat teruji disini. Bagaimana di awal scene Tjoet Nja’ mencoba untuk berteriak namun hanya suara berat yang keluar. Tekanan psikologis tokoh yang coba didobrak oleh semangat perjuangan sangat kentara disini. Pola bloking setengah lingkaran juga menjadi hal yang menarik. Perhatikan saja akting Mbak Christine Hakim.
Cuplikan 5
Cuplikan 5 : Hanya sebuah adegan sederhana, tanpa ada moving dari pemain-pemainnya. Kedalaman dialog dan akting tak perlu kita ragukan. Saya tertarik dengan cutting dan gerakan kamera yang mampu menaikkan dramatisasi scene ini. Silakan amati.
Cuplikan 6
Cuplikan 6: Tidak semua film perjuangan yang serius harus menghabiskan durasi dengan membuat penonton memicingkan matanya dan berpikir. Adegan-adegan sederhana, menghibur, namun substansial juga bisa diselipkan. Dengan catatan adegan itu harus proporsional dan harus bisa membuat seorang editor tak mampu untuk menghilangkan adegan itu dengan semena-mena. Scene ini sederhana, namun kuat.
Cuplikan 7
Cuplikan 7 : Rhyme cut. Cutting movement dan dialog terjadi saat tiba-tiba Tjoet Nja’ membuka tirai dan berkata “Aku tidak suka dengan cara seperti ini”. Dialog ini seolah menjawab statement Pang Laut di scene sebelumnya. Dua scene yang berbeda timing, dengan tokoh yang sama, namun terasa nyaman karena rhyme cut yang proporsional.
Cuplikan 8
Cuplikan 8: Rhyme cut dengan gerakan, ketika Tjoet Nja’ membetulkan letak kainnya dan kemudian kamera pan ke arah kanan. Dalam hal ini kamera menjadi subjective point of view dari tentara Belanda. Gerakan kain dan panning kamera menjadi kontiniti yang nyaman untuk dilihat. Ditambah dengan cutting saat tentara Belanda tersebut sedang diinterogasi oleh rekannya, suspens minor menjadi sangat kuat dengan teknik rhyme cut ini.
Cuplikan 9
Cuplikan 9: Simbolisasi tirai, menjadi sebuah stressing tersendiri dan menjadi simbol dari prinsip Pang Laut dan Tjoet Nja’ yang semakin berseberangan. Kecepatan tangan saat menyingkap tiraipun bisa menjadi point untuk masuk ke dalam emosi tokoh. Kunci scene ini ada pada suspen minor kemunculan Tjoet Nja’ dari balik tirai dan kecepatan tangan saat menyibak tirai tersebut. Sebuah scene yang yang cerdas.
Cuplikan 10
Cuplikan 10 : Ini adalah salah satu scene ending terbaik yang pernah dibuat untuk film Indonesia. Ini adalah scene ending yang ideal. hampir semua sempurna. Scene yang dahsyat!
Semua yang diuraikan diatas hanyalah pendapat personal saya tentang film ini. Tidak akan salah apabila anda mempunyai pendapat yang berbeda. Karena pada dasarnya sebuah film itu disebut berhasil apabila mampu menyentuh hati penontonnya, yang tentu saja sangat berbeda antara satu penonton dan lainnya.
Mudah-mudahan tulisan ini berguna.
0 Komentar:
Post a Comment