BERBICARA SEJARAH FILM
1927, adalah caption pertama yang muncul setelah caption judul, kru, dan pemain ditampilkan dengan ala jaman dulu. Ada semacam nilai sejarah yang saya temukan di film ini :
Sejarah Amerika, ketika negara ini mengalami collapse dalam hal ekonomi. Apa yang menunjukkan hal ini? Silakan tonton filmnya. Nggak seru kalau saya ceritakan disini :)
Sejarah film. Jelas terlihat pada point utama film ini ketika terjadi perubahan era film bisu menjadi film bicara, sementara itu tokoh utama tak mau beranjak dari era lama dan tenggelam bersama kesombongannya. Point ini menggelitik saya untuk mencari awal mula ditemukannya gambar bergerak. Akhirnya saya menemukan footage ini :
Roundhay Garden adalah footage pertama yang direkam dengan menggunakan celuloid pada tahun 1888. Tak sampai disini saja, saya juga mencoba menjelajah lagi dan menemukan footage yang direkam pada tahun 1878 menggunakan 12 kamera foto stereoskopik :
Film The Artist telah mampu mengantar dan memotivasi saya selaku pribadi untuk menelaah dan menemukan apa sih yang membuat orang-orang jaman itu ingin membuat gambar bergerak? Apakah sekedar rasa ingin tahu? ataukah karena memang sudah saatnya gambar bergerak dibutuhkan menjadi media untuk menyampaikan sesuatu? Sebuah misteri penemuan menggelitik lagi.
Selengkapnya tentang sejarah film itu sendiri silakan baca-baca disini .
BERBICARA IMAJINASI
Film fiksi, baik panjang atau pendek adalah kumpulan imajinasi dari pembuatnya yang bisa dikembangkan dari hasil riset maupun murni gagasan saja. Film bisu ini mampu mengajak penontonnya untuk 'berdialog' melalui imajinasi suara berupa ambience maupun dialog tokoh-tokohnya. Setiap mulut pemain mengucapkan sesuatu, saya mencoba untuk membaca gerak bibir dan mengimajinasikan apa yang sedang diucapkannya, karena tidak semua dialog ditulis dalam caption. Sebagai penonton, saya juga ditarik untuk menciptakan atmosfir suara dalam imajinasi dan merangkainya menjadi satu kesatuan utuh 'bangunan suara' yang tentunya sangat berbeda antara satu penonton dengan penonton lainnya, seperti drama radio yang merangsang kita untuk menciptakan gambar dalam imajinasi.
BERBICARA TEKNIS
Diproyeksikan dengan media digital, itu yang ada di bioskop XXI Jogja. Entah yang lain, apakah ada yang diproyeksikan dengan 35 mm?16 mm? Saya belum dapat informasi. Kenapa tidak full screen ya? Dan kenapa aspect rationya terasa 3:4, bukan 16:9? Mungkin saja itu adalah sebuah kesengajaan agar penonton merasakan nuansa gambar seluloid format 8mm yang eksis pada masa itu.
Gambar, jelas hitam putih. Rasa 'digital'nya cukup kentara. Dari teknis pencahayaan film ini mencoba untuk merekonstruksi pencahayaan masa-masa itu dengan shadow tajam dan tak hanya satu. Semacam mencoba membuat pencahayaan yang 'lugu' dibalut teknik 'glow'. Dari sinilah penonton dibawa ke masa itu dengan berbagai kesederhanaannya. Walau demikian dari sisi angle kamera tak sepenuhnya menjiplak masa-masa itu. Ada beberapa angle yang 'baru' dan teknik gerakan kamera yang smooth. Sekali lagi mungkin ini adalah sebuah kesengajaan agar salah satu 'asset' film ini tetap terjaga.
Suara. Saya yakin ini adalah sebuah kesengajaan ketika suara ditampilkan dengan teknik mono . Mencoba merekonstruksi lagi teknologi masa itu walaupun tetap ditampilkan dengan kejernihan digital, tanpa crackle atau noise analog, kecuali untuk sebuah adegan yang memang sengaja untuk mengesankan 'kuno'. Munculnya efek suara dan dialog di scene tertentu juga menjadi suspens minor yang menarik. Setelah dimanjakan dengan kebisuan, tiba-tiba muncul suara selain musik saya menjadi semacam lega dan berpikir "Ah, akhirnya back to the future". Di scene mana sajakah itu? Tonton saja :D
BERBICARA SEMIOTIKA DAN SIMBOL
Pemikiran semiotik dan simbol modern kentara sekali. Namun tidak merusak bangunan utuh film. Sutradara semacam ingin memasukkan pemikiran dan interpretasi kekinian dalam film agar penonton tak merasa 'ditinggalkan' ke masa lalu. Termasuk hadirnya teknik overlay chromakey sederhana di sebuah scene. Simbol tak hanya dimasukkan dalam penggunaan properti, namun juga dari kamera, gesture dan adegan itu sendiri yang mungkin pada masa itu kok rasanya belum terpikirkan oleh filmmaker.
BERBICARA KOMUNIKASI
Semua boleh berbicara, ini yang terjadi saat ini. Merebaknya komunitas diskusi melalui social media dan internet telah membuat proses berbicara menjadi hal lumrah. Bahkan jempolpun sekarang boleh bicara kok :D . Dan film ini semacam mendekonstruksi itu semua dengan 'membungkam' diri, hanya berdialog dan menarik impact penonton melalui ekspresi pemain, visual, dan musik.
BERBICARA TENTANG CARA BERCERITA
Sebagai filmmaker terus terang saya tergelitik dengan bagaimana film ini menceritakan kembali bahasa tulis (naskah) menjadi bahasa visual yang 'berani' meminimalisir elemen-elemennya. Bangunan scene dan shot-shot sederhana itu malah menjadi terkesan mewah dan elegan, walau ditilik dari sisi cerita sebenarnya biasa-biasa saja sih. Kentara sekali kepatuhan sutradara dengan plot segitiga Aristoteles yang linear.
BERBICARA TENTANG FILM ITU SENDIRI
Saya yakin, banyak kalangan yang bilang bahwa film ini berani mengambil resiko dengan hitam putih dan kebisuannya. Namun, produser yakin bahwa ada suatu hal yang bisa dipetik dalam cara penyajian ini. Apakah film ini akan box office setelah menyabet piala Oscar? Kita lihat saja nanti bagaimana apresiasi penonton film terhadap ide 'dekonstruktif' film ini.
Yang Terlibat di The Artist
Ternyata membahas film hitam putih bisu di era modern ini justru terasa lebih rumit dan membutuhkan artikel lumayan panjang juga. Udah, sekian dulu ya. Selamat untuk The Artist, dan selamat menonton untuk yang belum nonton :D
Tamansari 29 Februari 2012
0 Komentar:
Post a Comment