catatan kecil dari pinggir hati

No Hollywood No Cry, Quo Vadis Film Indonesia?



Sebuah babak baru dimulai, dan setiap ada hal yang baru dan berbau kontroversi pasti akan mengundang opini dari berbagai kalangan sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Seperti halnya terjadi dengan fenomena menghilangnya Film-film Hollywood dari layar bioskop di Indonesia ini.

Ada apa dengan Hollywood?

Raksasa industri film ini sangat produktif dalam menghasilkan film-film yang mungkin bisa kita katakan berkualitas atau minimal bisa menjadi hiburan bagi penonton dan referensi bagi para pembuat film. Kebijakan pemerintah Indonesia dengan menaikkan bea masuk memicu reaksi keras dari pihak Hollywood dan akhirnya membuat keputusan untuk tidak memasukkan lagi film-filmnya ke Indonesia. Ditilik dari sisi dagang, pasar penonton film Hollywood di Indonesia lumayan signifikan dalam memberi penghasilan bagi para produser di sana. Tulisan ini tidak akan membahas hal-hal perdagangan itu, namun lebih pada apa yang harus dilakukan oleh para pelaku film di Indonesia menyikapi hal ini. Pelaku film tentu saja bukan hanya pembuat film saja, namun juga pemerintah, masyarakat penonton, dan stake holder yang lain.

Paradigma Baru bagi Produsen Film dan Penonton

Sejatinya bangsa ini dibesarkan dari nilai-nilai perjuangan yang sangat mengedepankan nilai kebangsaan yang sangat kuat. Dari sisi perkembangan film Indonesia, diharapkan nilai-nilai yang telah ditanamkan para pendahulu bisa menjadi spirit dalam membangun dan menginovasi film Indonesia. Simak saja perjuangan para maestro film era Usmar Ismail,Djajakusuma,Sjumandjaja, Teguh Karya, Arifin C Noer, Wim Umboh, dll. Saya berpendapat bahwa saat beliau-beliau ini membuat film pastilah tak hanya memperhitungkan faktor bisnis semata, namun ada maksud yang lebih besar dari itu, yakni membuat film Indonesia menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Sudah saatnya sekarang para produsen film Indonesia mulai berpikir ulang dan menata kembali visi misinya. Jalan sudah terbuka, ratusan layar bioskop di Indonesia ini butuh diisi film-film yang berkualitas dan layak tonton. Produsen film sudah selayaknya berani MENCIPTAKAN SELERA PASAR dan tak lagi terjebak dengan ideologi bahwa film Indonesia menuruti permintaan penonton dengan film-film yang stereotype. Penonton film Indonesia harus dicerdaskan dan difasilitasi agar bukan hanya memposisikan dirinya menjadi penonton pasif. Penonton harus bisa aktif dan menjadi apresiator yang baik dan kritis.

Lembaga Sensor, Kini dan Nanti

Ibarat saluran air, lembaga sensor itu seperti kran yang bisa ditutup dan dibuka untuk memberi ruang bagi film-film Indonesia mengalir ke penonton. Alasan menutup dan membuka, inilah yang sering menjadi tarik ulur antara produsen film dan lembaga sensor. Kaidah-kaidah penceritaan film tidak bisa disamakan seperti membaca sebuah buku pelajaran dan menelannya mentah-mentah. Sejatinya, film dibuat menggunakan perhitungan teknis dan perasaan, hingga satu gambar atau adegan bisa dimaknai bermacam-macam tergantung pengalaman pribadi penonton. Memang harus diakui banyak film yang mengumbar adegan seronok yang vulgar. Kevulgaran inilah yang harus dikritisi dan dan disensor. Namun ada kalanya juga sensualitas gambar juga sangat dibutuhkan dalam menambahi pemaknaan cerita. Ke depan, lembaga sensor harus mengambil posisi tawar dalam mendukung film Indonesia. Bukan posisi tawar dalam konteks menguasai regulasi film, namun justru harus mempunyai rasa memiliki dan terlibat dalam perkembangan kedewasaan film Indonesia. Saya berpikir, potensi rusaknya moral bangsa tidak semata-mata dipengaruhi oleh industri film kita, namun lebih banyak hal lain, seperti internet misalnya.

Bioskop, Riwayatmu Nanti

Kosong...Akankah itu yang terjadi dengan bioskop-bioskop di Indonesia yang sering memutar film Hollywood sebagai andalannya? Rasanya penonton akan tidak rela melihat itu terjadi. Ada sebuah sumbang pikiran bagi bioskop-bioskop ini: Mengapa tidak menyumbangkan 1 layar untuk menghidupkan potensi filmmaker lokal? Biarlah 1 layar digunakan sebagai ajang unjuk karya bagi filmmaker independen agar menjadi wahana apresiasi bagi karyanya. Selain itu, dengan diputar di bioskop standar akan memberi pengetahuan teknis kepada filmmaker agar lebih kritis dan meningkatkan skill mereka. Karena standard prima bioskop dalam visual dan sound akan bisa membongkar kelemahan teknis filmmaker.

Kebijakan Strategis Pemerintah ke Depan

Jangan cuci tangan. Outnya film Hollywood adalah bagian dari kebijakan pemerintah. Seharusnyalah kemudian pemerintah memfasilitasi para produsen dengan kebijakan-kebijakan yang membangun, bukan merubuhkan. Saya tidak berkompeten dalam hal kebijakan. Lanjutkan saja!

Desentralisasi Industri Film

Supply and demand pasti akan menjadi bahan pijakan produser film untuk membuat berproduksi. Ke depan, bukan film yang antri untuk masuk ke bioskop tapi bioskop yang akan mencari film-film yang akan diputar. Dibutuhkan ratusan film yang harus dibuat untuk memenuhi layar bioskop di Indonesia dalam setahun. Saya berpikir, para produser harus mulai berpikir dengan ragam tema filmnya dan tidak terjebak dengan tema-tema yang stereotype.  Apakah sumber daya perfilman di Indonesia mencukupi? Saya berani jawab CUKUP! Permasalahannya adalah belum banyak investor 'gila' yang berani menginvestasikan uangnya pada produksi filmmaker lokal hingga bisa diputar di bioskop. Perlu kebersamaan antara pusat dan daerah, bersinergi dan saling menularkan ilmunya. Teman-teman filmmaker Jakarta seyogyanya menularkan etos kerja profesional dan kemempuan teknis kepada filmmaker daerah, dan teman-teman di daerah juga harus mau membuka diri untuk membuka wawasan dan hal-hal baru, tidak terjebak pada ke'aku'an daerah yang terkadang justru memperkerdil wawasan kita.

Quo Vadis?

Mau kemana? kita sendiri yang tentukan. Tidak bisa mengandalkan satu elemen saja. Mari bergotong royong membangun film Indonesia, kesampingkan kepentingan-kepentingan politis yang menjebak. Saatnya bangkit film Indonesia!

Nologaten, 22 februari 2011



1 comment:

No Hollywood No Cry, Quo Vadis Film Indonesia?