Maraknya media seni pertunjukan, masuknya dunia digital, menjadikan produksi seni pertunjukan apalagi dengan media film menjadi terasa mudah.
Kemudahan teknologi ini ternyata juga berimbas positif maupun negatif pada pemaknaan dan implementasi dunia keaktoran, utamanya di film/audio visual. Kali ini kita akan membahas dan hanya fokus kepada aktor di film/audio visual.
Aktor sebagai sebuah bangunan tubuh adalah pribadi yang mandiri. Ego manusianya menjadi keniscayaan. Film, adalah media yang membutuhkan aktor untuk membuat 'kehidupan baru' dan merealisasikan imajinasi. Diversifikasi gaya atau jenis film juga sedikit banyak berpengaruh dalam dunia keaktoran, apalagi ditunjang dengan pola industri film Indonesia yang masih berkutat pada kuantitas dan tenggat waktu. Tak banyak film yang berorientasi pada kualitas, karena pada kenyataannya kapital ikut bermain disini. Prinsip ekonomi masuk ke dalam dunia seni, khususnya film. Dengan modal sekecil-kecilnya mendapatkan hasil (penonton) sebanyak-banyaknya. Prinsip macam ini kemudian bertumbuh menjadi habit baru dalam dunia produksi film dan berimbas juga pada habit aktor.
Aktor berakting dengan jujur, aktor itu menjadi bukan sebagai, adalah sebagian kecil dari 'dogma-dogma lama' keaktoran. Lantas apakah dogma lama ini masih relevan dengan dunia industri film saat ini? Ini semua tentu saja kembali kepada aktor sendiri yang memaknai keaktoran sebagai sikap hidup atau sekedar profesi.
Sebagai sikap hidup tentu saja dogma lama, pengolahan tubuh dan jiwa menjadi habit harian dalam berproses. Tak hanya saat akan bermain dalam sebuah film saja, namun sikap aktor seperti ini terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari. Aktor yang selalu gelisah dan mencari sesuatu dalam hidupnya. Gelisah secara estetika maupun psikologis. Taat dalam berproses dan tak mudah menyerah pada kerumitan karakter yang harus dimainkan, dan biasanya lebih mudah bersikap profesional. Profesional disini bukan berarti harus dibayar mahal, tetapi aktor mampu menempatkan diri dalam sebuah style/gaya produksi film.
Sebagai profesi, aktor tak dipungkiri bisa menjadi profesi yang menumpuk uang. Namun ketika seorang aktor melulu hanya berpikir tentang hal ini, maka tak ayal lagi dia hanya akan menjadi aktor plastik. Aktor yang mentah secara spiritual. Aktor yang tak lebih seperti boneka yang digerakkan sang dalang, mengikuti tanpa melakukan pencarian. Aktor palsu tapi asli. Asli dalam konteks manusiawi. Seburuk-buruknya aktor instan sebenarnya ia adalah hasil dari proses kreatif Tuhan dan orang tuanya. Sayang, kemudian dimentahkan oleh ideologi "industri kapitalis". Banyak fakta menunjukkan bahwa aktor-aktor plastik bertebaran dimana-mana. Tak hanya di pusat industri film, dalam hal ini Jakarta, namun juga sampai ke aktor-aktor di daerah. Habit produksi yang cepat dan instan telah dimaknai bukan secara profesional pekerjaan saja tapi menjadi gaya hidup.
Berikut adalah beberapa ciri aktor plastik :
- Malas ikut casting. Seolah merasa pasti diterima. Padahal casting sebenarnya menjadi bagian dalam proses keaktoran. Berlatih lagi dan berinteraksi dengan orang-orang baru dalam sebuah casting sebenarnya berimbas positif.
- Merasa bisa. Seperti aktor handal yang bisa berperan apa saja.
- Tak mau berproses dengan reading atau rehearsal. Biasanya aktor plastik akan membanding-bandingkan apabila ia pernah ikut dalam produksi film lain. "Yang film kemarin kita langsung syuting kok, kenapa ini ribet banget sih". Ini salah satu pernyataan yang tersurat maupun tersirat.
- "Honorku berapa?" Yah ini juga bagian dari ciri-ciri aktor plastik. Belum baca naskah sudah bertanya honor.
- Malas membaca keseluruhan skenario, hanya membaca scene dimana dia eksis. Padahal sebenarnya seorang aktor harus memahami karakter dan alur cerita. Bahkan harus tahu basic character dan akan dibawa kemana karakter tersebut.
- Akting copy paste. Malas mencari dan menemukan. Hanya menirukan aktor atau tokoh yang pernah ada sebelumnya.
Dan masih banyak lagi ciri lain. Nah, sekarang hanya tergantung si aktor sendiri akan menjadi seperti apa. Harap diingat, sustainability seorang aktor adalah hasil dari kerja keras dan proses. Bukan modal wajah dan fisik saja.
Sekian tulisan saya. Semoga film Indonesia berani membuang aktor-aktor plastik, minimal bisa merecycle nya menjadi aktor yang sungguh aktor. Aktor yang manusiawi. Aktor yang jujur.
Happy acting :)
Tamansari, 20 Agustus 2013
0 Komentar:
Post a Comment