Seniman, identik dengan gagasan, independensi, inovasi, karya, dan anti status quo. Politik, identik dengan kekuasaan, kapitalisme modern, tak ada kawan dan lawan abadi, dan sebagainya. Jika menilik dua kata ini sepertinya tak berhubungan satu dengan yang lainnya, bahkan beberapa hal nampak berlawanan.
Sebenarnya dalam berpolitik pun butuh seni, namun tentu saja bukan seni murni yang menghasilkan karya-karya artistik, lebih kepada seni dalam hal berkomunikasi dan berinteraksi dengan 'lawan maupun kawan politik'nya. Ini hal umum yang terjadi.
Tapi bagaimana apabila yang terjadi justru naluri seniman yang berbicara? Bukan sekedar 'cara' ? Naluri kesenian seseorang dibangun sejak seseorang masih dalam kandungan, dan bisa diturunkan secara genetis. Naluri untuk bergerak, peka terhadap sekitarnya, berkarya, menolak kemapanan, mungkin menjadi hal yang perlu dicermati. Dalam hal seni apapun, seorang yang berkutat di dalamnya pasti menggunakan hati sebagai salah satu tools natural paling efektif untuk memperoleh ide yang melahirkan karya yang independen.
Menilik beberapa kasus yang terjadi, semisal mundurnya Dicky Chandra dari panggung politik, dan (akan) mundurnya Rano Karno dari jabatan wagub Banten, secara naluriah saya bisa langsung mengambil kesimpulan sementara bahwa aksi mereka dipicu oleh 'rasa' yang mengganggu. Bisa bermacam-macam, rasa ketidak adilan, kesetaraan, keberpihakan, dan lainnya. Seniman semacam Rano Karno tidak besar karena training maupun pembelajaran formal, tapi secara genetis telah mengalir dalam darahnya karena ayahnya Soekarno M. Noor adalah seniman film tulen pada eranya. Saya memang tidak terlalu tahu genetik kesenimanan Dicky Chandra, namun sepak terjangnya di dunia kesenian telah mengasah rasa dan nalurinya. Dan ini tak mudah dihilangkan.
Dalam politik, jabatan Rano maupun Dicky di jajaran eksekutif menjadi mudah dilihat oleh publik. Setiap geraknya terpantau oleh msayarakat konsituennya, media. Ini yang membuat keputusan Rano Karno menjadi semacam berita yang layak untuk diperbincangkan. Jangan lupa, di tataran legislatif banyak seniman juga yang berkiprah disana. Sifat parlemen yang kolegial telah menutup aura kesenimanan mereka. Para seniman di legislatif mungkin banyak juga yang 'gelisah' dengan kondisi parlemen yang carut marut dan sayangnya kegelisahan ini tertutupi oleh aksi politik praktis dan manuver-manuver ala politisi tulen di sekitarnya.
Politik mengandung kebenaran dan kesalahan relatif. Sikap Dicky dan Rano mungkin tak 100% salah namun juga belum tentu 100% benar. Tapi bahwa mereka memilih mundur adalah karena keyakinan dan penyikapan terhadap kondisi sekitar yang menggelisahkan. Semoga sikap ini murni karena naluri, bukan akal-akalan politik.
Apakah akan lahir tulisan saya yang berikutnya : Naluri Seni dalam Politik Praktis part 2 (Berkaca dari Kasus Deddy Mizwar)? Kita lihat nanti, sejauh mana naluri kesenimanan Naga Bonar akan bergerak, atau mungkin malah akan hilang?
Salam Budaya
0 Komentar:
Post a Comment