catatan kecil dari pinggir hati

Memang Tak Seampuh Kyai Sengkelat, Tapi Istimewa

Sebetulnya penulis tak ingin bercerita tentang keris. Memang, pada budaya Jawa keris menjadi salah satu elemen yang menjadi pegangan ketika seseorang ingin disebut sebagai 'wong lanang' atau 'wong Jawa". Penulis juga tak ingin mendongeng tentang Kyai Sengkelat, salah satu keris yang cukup terkenal pamornya pada jaman Majapahit. Salah satu blog lain menulis tentang keris ini, dan ada satu frase yang menarik untuk kita bicarakan dan kita pakai sebagai analogi. Berikut cuplikannya :

Le…. tirunen si sengkelat, dia adalah simbol wong cilik tapi sugih ngelmu“bathok bolu isi madu” paribasane. Sengkelat orang seneng nuduhake kasudibyane, walau dia sakti, kuat namun sosoknya sangat sederhana, sak anane atau sakmadya. Menurut simbah Sengkelat menjadi ikon bagi para  kawula alit yang berilmu tinggi. Konon, kelak dinusantara ini akan muncul sosok pemuda yang sederhana, tapi ketinggian ilmu lahir batinnya luar biasa, dia berasal dari keluarga biasa, yang lebih aneh lagi pemuda tersebut mempunyai pusaka Kanjeng Kyai Sengkelat sebagai tanda bahwa ia adalah pengemban amanat leluhur. Pemuda tersebut akan berjuang membangun Nusantara menjadi negeri yang aman, adil dan makmur. 

Dicuplik dari blog : http://ngajitauhid.wordpress.com/2009/07/30/kanjeng-kyai-sengkelat/

Itulah mengapa keris yang sakti sebagai 'piandel' atau pusaka justru selalu ditaruh di belakang (disengkelit). Tak ingin ditunjukkan, namun keampuhannya tak usah dipertanyakan. Menunjukkan juga bahwa sebagai orang Jawa kita harus rendah hati, walau sebenarnya banyak hal yang sudah kita lakukan dan prestasi yang dihasilkan. 'Sak madya' atau sedang-sedang saja, menggambarkan sebuah penerimaan dan rasa syukur seberapapun yang telah diberikan Sang Pencipta kepada manusia. Kesederhanaan bukan tak berarti, 'Sak madya' juga bukan berarti tak berjuang. Formula perjuangan 'wong Jawa' adalah melalui kesederhanaan dan rendah hati mampu membangun kesejahteraan bagi semua.

Ini yang mendasari perjuangan 'Kawula Ngayogyakarta' dalam hal Keistimewaan. Semua usaha telah ditempuh, baik melalui jalur birokrasi, seia sekata bersama DPRD menumbuhkan semangat keistimewaan Yogyakarta sebagai landasan kehidupan pluralis dan menghargai antar golongan. Ada juga para pejuang keistimewaan yang melakukan ritual, kegiatan budaya, kirab dan sebagainya sebagai manifestasi suara akar rumput untuk mengingatkan pemerintah pusat bahwa pernyataan Sri Sultan HB IX sebagai raja Yogyakarta waktu itu untuk bergabung dengan RI adalah langkah yang sederhana, sak madya, dan rendah hati. Hingga menjadi kewajiban bagi pemerintah pusat untuk mendengar aspirasi Yogyakarta.

Walaupun belum final, namun ada sedikit hasil dari perjuangan tersebut. Hasil dari perjuangan panjang elemen masyarakat Yogyakarta. Sebuah senjata sederhana telah diciptakan. Memang tak seampuh Kyai Sengkelat, tapi ISTIMEWA.




Tamansari, 1 Oktober 2011




10 comments:

Memang Tak Seampuh Kyai Sengkelat, Tapi Istimewa